
OLEH : DR. SUAIB DJAFAR, MSi..
ABSTRAK
Palu Publiknusantara.id – Peradilan adat merupakan salah satu instrumen kearifan lokal yang diwariskan leluhur untuk menjaga harmoni sosial masyarakat. Bagi komunitas Kaili di Sulawesi Tengah, Peradilan adat (Potangara Nuada) tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa,
“namun juga sebagai wahana pendidikan moral, penguatan solidaritas, serta pengendalian perilaku individu melalui penerapan sanksi sosial. Artikel ini membahas praktik peradilan adat Kaili, prinsip-prinsip yang mendasarinya, serta relevansinya dalam konteks penyelesaian masalah sosial kontemporer”.
Pendahuluan
Masyarakat adat Kaili di Sulawesi Tengah hidup dengan sistem sosial yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kebersamaan, gotong royong (Nolunu, Nosialapale) Peduli (Nosipeili) Saling Menghargai ( Nosimpoasi) Nosipotove (Saling Menyayangi) serta penghormatan terhadap hukum adat (Atura Nuada).
Hukum adat berfungsi sebagai norma yang mengatur hubungan antarindividu maupun antara manusia dengan alam. Salah satu manifestasinya adalah peradilan adat, yang dijalankan oleh tokoh adat, /Totuanungata sebagai pemegang otoritas moral dan sosial.
Peradilan adat ini berbeda dengan sistem hukum formal, sebab penekanannya terletak pada pemulihan harmoni sosial, bukan pada pembalasan atau hukuman semata.
Dengan demikian, peradilan adat Kaili dapat dipandang sebagai solusi alternatif dalam menghadapi konflik sosial yang sering tidak terselesaikan secara tuntas dalam sistem hukum negara.
Prinsip-Prinsip Peradilan Adat Kaili
- Musyawarah dan mufakat (Sintuvu): setiap sengketa diselesaikan dengan diskusi kolektif di bawah bimbingan tokoh adat, Libu ( Musyawarah)
- Restoratif: tujuan utama adalah mengembalikan keseimbangan sosial, bukan menimbulkan penderitaan.
- Keterikatan sosial: keputusan adat memiliki daya ikat kuat karena didasarkan pada rasa malu (maeya) dan harga diri kolektif.
- Keadilan berimbang: setiap pihak diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan pandangan.
- Sakralitas nilai adat: putusan dianggap memiliki legitimasi spiritual karena adat diyakini berasal dari leluhur yang dihormati.
Bentuk Sanksi Sosial dalam Peradilan Adat Kaili
Sanksi adat bagi masyarakat Kaili biasanya berbentuk sanksi sosial yang mendidik, antara lain:
Denda adat (givu): berupa benda simbolis atau harta tertentu yang dibayarkan kepada pihak yang dirugikan.
Kerja sosial bersama: pelaku diminta melakukan kerja bakti untuk kepentingan kampung.
Pengucilan sementara (Nipali): pelaku dijauhkan dari aktivitas sosial hingga menunjukkan penyesalan.
Sanksi moral: berupa teguran keras di depan masyarakat sebagai bentuk pendidikan sosial.
Sanksi ini bersifat restoratif dan preventif, menekankan pada pemulihan hubungan, rasa malu, dan pemahaman nilai moral.
Relevansi Peradilan Adat Kaili di Era Modern
Di tengah semakin kompleksnya permasalahan sosial, peradilan adat Kaili menawarkan solusi berbasis kearifan lokal yang lebih diterima masyarakat. Keunggulannya adalah:
Mencegah konflik berkepanjangan, karena keputusan didasarkan pada mufakat.
Menghemat waktu dan biaya, dibanding proses litigasi formal.
Menjaga harmoni sosial, sebab fokus pada rekonsiliasi, bukan hukuman.
Memperkuat identitas budaya lokal, sehingga masyarakat tetap terikat pada nilai luhur leluhur.
Meski demikian, peradilan adat juga menghadapi tantangan berupa pengakuan hukum negara, potensi diskriminasi, serta perlunya adaptasi dengan prinsip hak asasi manusia.
Kesimpulan
Peradilan adat Kaili di Sulawesi Tengah adalah salah satu warisan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur kearifan lokal. Dengan menekankan prinsip musyawarah, restoratif, dan sanksi sosial yang mendidik, peradilan adat mampu menjadi solusi dalam menyelesaikan konflik di tengah masyarakat. Relevansi peradilan adat ini semakin penting di era modern, sebagai pelengkap sistem hukum formal dalam mewujudkan keadilan yang humanis dan berkeadaban.(***)